Rabu, 20 November 2013

Konseling Ego State Bagi Siswa yang Mengalami Kejenuhan Belajar (Student Burnout)


KONSELING EGO STATE BAGI SISWA YANG MENGALAMI KEJENUHAN BELAJAR (STUDENT BURNOUT)


Gian Sugiana Sugara
Email : giansugiana@gmail.com / Website : www.makna-life.com
Konselor Sekolah SMK Profita Bandung / Mahasiswa S2 Bimbingan dan Konseling
Universitas Pendidikan Indonesia


Abstrak. Makalah ini berisi mengenai penanganan siswa yang mengalami kejenuhan belajar dengan menggunakan teknik konseling ego state. Siswa yang mengalami kejenuhan belajar mengalami kelelahan emosi, penurunan keyakinan diri dalam akademis dan meningkatnya sikap sinisme terhadap kegiatan belajar. Konselor sekolah memiliki peranan yang penting dalam menangani siswa yang mengalami kejenuhan belajar. Salah satu bentuk intervensi yang dinilai cocok adalah konseling ego state yang terbukti efektif menangani kasus-kasus depresi, kecemasan, trauma dan rasa takut yang berlebihan. Konseling ego state merupakan teknik terapi singkat yang berdasar pada premis kepribadian yang terdiri dari bagian-bagian (parts) terpisah. Berdasarkan hasil studi menjelaskan kejenuhan belajar terjadi karena tekanan stress yang tidak terkelola dalam rentang waktu yang lama. Konseling ego state bertujuan untuk menghilangkan gejala-gejala kejenuhan belajar yang dirasakan oleh konseli. Konselor melakukan identifikasi dengan membagi dua bagian yang saling bertentangan dan menyebabkan kejenuhan belajar. Proses konseling ego state dalam menangani konseli yang mengalami kejenuhan belajar terdiri dari mengakses ego state yang jenuh, melakukan regresi untuk mengetahui akar masalah. Setelah itu, melakukan proses ekpresi, pelepasan dan penenangan ego state yang terluka dengan mencari ego state yang lebih dewasa dan mau mengasuh.


Kata Kunci : Burnout, Konseling, Ego State

© 2013 Published by Panitia Kongres XII dan Konvensi Nasional  BK XVIII


A.     PENDAHULUAN
Stress adalah kondisi kejiwaan ketika jiwa itu mendapat beban (Sarwono, 2003). Remaja sangat rentan untuk terjadinya stress bahkan dalam belajar. Proses belajar yang terus-menerus dilakukan para siswa serta tekanan-tekanan, baik dari dalam diri maupun lingkungannya untuk mencapai prestasi belajar yang maksimal, terkadang membawa siswa pada batas kemampuan jasmaniahnya. Hal ini kemudian membuat siswa mengalami keletihan, kebosanan, dan kejenuhan dalam belajar. Istilah kejenuhan atau Burnout ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1974 oleh Freudeunberg yang meneliti tentang kejenuhan kerja pada para pekerja sosial. Cherniss (1980) mengartikan ‘Burnout is a state of emotional, mental, and physical exhaustion caused by excessive and prolonged stress’. Dengan demikian, kejenuhan adalah keadaan kelelahan fisik, mental, sikap  dan emosi individu atau pekerja karena keterlibatan yang intensif dengan pekerjaan dan  dalam jangka waktu panjang” (Ilfiandra, 2002; Agustin, 2009). Burnout menyebabkan individu bosan dan tidak semangat dalam mengerjakan tugas. Hal ini biasa terjadi karena adanya pengulangan dalam proses pembelajaran sehingga membuat bosan dan akhirnya menghindar dari tugas yang harus dipenuhi.
Konsep kejenuhan belajar (Student Burnout) pertama kali muncul dan dikembangkan oleh beberapa penelitian yang dilakukan diantaranya oleh Noushad (2008), Schaufeli et al (2002), Jacobs et al (2003), Lightsey & Hulsey (2002), Silvar (2001) dan Agustin (2009) yang menemukan bahwasanya kecenderungan kejenuhan dengan segala faktor penyebabnya bukan hanya terjadi pada adegan pekerjaan akan tetapi kejenuhanpun dapat terjadi pada kegiatan belajar. Kejenuhan belajar muncul dari adanya proses pengulangan belajar yang tidak mendatangkan prestasi atau hasil yang memuaskan sehingga membuat individu letih baik secara fisik maupun psikis.
Maslach et al (1997) menjelaskan bahwa siswa yang mengalami kejenuhan belajar (burnout) mengalami tiga hal utama yakni keletihan emosi (emotional exhaustion), meningkatnya sikap sinis terhadap belajar (depersonalization) dan menurunnya keyakinan diri dalam belajar (reduce academic efficacy). Noushad (2008) menjelaskan bahwa keletihan emosi akibat kejenuhan ditandai dengan sikap mudah menyerah, lelah dan lesu tanpa gairah belajar. Keletihan emosi mengakibatkan individu tidak semangat belajar dan merasa energinya terkuras habis tanpa mendapatkan hal yang penting untuk dirinya. Individu yang mengalami kejenuhan belajar akan merasa energinya habis secara emosi, mudah putus asa dan frustrasi (Maslach et al, 1997). Sinisme seringkali disebut depersonalisasi, gejala kejenuhan dalam bentuk sinisme membuat individu tidak nyaman berada di dalam kelas maupun mengikuti aktivitas belajar. Maslach et al (1997) menjelaskan bahwa komponen kejenuhan belajar dalam bentuk sinisme ini muncul dalam bentuk perasaan sinis, dingin dan menjaga jarak. Artinya individu menunjukkan perilaku mekanisme pertahanan diri terhadap tuntutan dan beban akademis yang dipikulnya. Bentuk perilaku sinisme yang seringkali muncul pada siswa yang mengalami kejenuhan belajar yakni seperti bolos sekolah, marah-marah, tidak mengerjakan tugas rumah, atau berpikiran negatif terhadap guru dan kehilangan ketertarikan terhadap mata pelajaran. Siswa yang mengalami kejenuhan belajar juga mengalami penurunan keyakinan diri dalam belajar. Noushad (2008) menjelaskan bahwa karakteristik individu yang menderita karena menurunnya keyakinan akademik yakni merasa menjadi orang yang tidak bahagia dan malang, tidak puas terhadap hasil belajar yang didapatkannya, merasa tidak kompeten, rasa percaya diri yang rendah dan merasa tidak berprestasi.
Kondisi seperti ini kerapkali menyebabkan siswa tidak bisa konsentrasi dalam belajar bahkan memungkinkan untuk terjadinya perilaku menyimpang seperti bolos, pura-pura sakit, dan lain-lain. Jika hal ini, tidak ditindaklanjuti dengan serius oleh para pendidik maka akan mengganggu proses belajar dan menurunnya produktivitas belajar. Dengan demikian, diperlukan layanan bimbingan dan konseling memiliki andil yang sangat besar dalam membantu siswa atau konseli yang mengalami kejenuhan belajar. Makalah ini menyajikan sebuah pendekatan dan teknik konseling ego state dalam menangani konseli yang mengalami kejenuhan belajar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ego state therapy secara efektif dapat digunakan dalam membantu masalah seperti post traumatic stress disorder (PTSD), depresi, multiple personality disorder, adiksi, manajemen rasa marah, trauma, panic attack, obsessive compulsive disorder dan kecemasan (Barabaz & Watkins, 2008; Watkin & Watkins, 1997; Emmerson; 2007; Philips, 2008).

B.     PEMBAHASAN
Untuk memahami lebih jauh bagaimana gambaran konseling ego state bagi konseli yang mengalami kejenuhan belajar (burnout) berikut ini akan dijelaskan mengenai konsep konseling ego etate, tujuan dari konseling ego state, penanganan konseli yang mengalami kejenuhan belajar (burnout) melalui konseling ego state.

Konsep Konseling Ego State
Teknik konseling ego state termasuk pendekatan konseling yang baru dan berkembang pada pertengahan 1970 yang diperkenalkan oleh Jhon G. Watkins berdasarkan konsep segmentasi kepribadian dari Weiss dan Federn (Emmerson, 2002). J.G. Watkins & H.H Watkins (1997) mendefinisikan ego state therapy sebagai sebuah terapi yang menggunakan pendekatan individu, keluarga, dan terapi kelompok dalam mengakses dan berhubungan dengan ego state yang bertujuan untuk melepaskan dan mengatasi konflik ego state yang terjadi. Konflik ego state yang terjadi seringkali membuat seseorang mengalami kecemasa, depresi bahkan perilaku salah suai (Watkins, 1993). Misalnya kita mengalami konflik dan sering berkata “Kadang-kadang saya membenci diri saya” atau “Saya tidak menyukai diri saya ketika melakukan hal itu”. Ketika konflik ego state itu tidak tertangani, maka akan menyebabkan masalah bagi individu.
Emmerson (2010) menjelaskan bahwa ego state adalah bagian kecil dari kepribadian seseorang. Setiap kali kita berbicara “saya seperti ini orangnya” atau “ada bagian saya yang membuat saya tidak tenang” maka itulah ego state. Sebuah ego state merupakan satu bagian dari sekumpulan kelompok yang mempunyai keadaan atau kondisi emosi yang setara, yang dibedakan berdasarkan tugas khusus, perasaan (mood), dan fungsi mental, dimana kesadaran diasumsikan sebagai identitas dari orang tersebut (Hartman & Zimberoff, 2003, Emmerson, 2010). Kumpulan dari ego state membentuk kepribadian utuh dari seseorang dan jumlahnya tidak dapat dihitung akan tetapi dalam satu minggu ego state seseorang yang muncul berjumlah sekitar 5 hingga 15 ego state (Emmerson, 2010).
Konsep ego state juga digunakan dalam pendekatan Transactional Analysis Therapy akan tetapi istilah ego state yang dipaparkan Eric Berne (1961) berbeda dengan ego state yang dipaparkan oleh J. G Watkins dan H.H Watkins. Ego state dalam transactional analysis merupakan konsep komunikasi interaksional bagian diri yang terdiri dari tiga yaitu ego state anak, ego state dewasa dan ego state orang tua. Sementara dalam konsep ego state therapy, jumlah ego state tidak terhitung karena ego state merupakan bagian dari kepribadian yang memiliki kondisi perasaan yang setara, logika, keterampilan dan terus berkembang (Hartman & Zimberoff, 2003).
Ego state mulai berkembang ketika masa kanak-kanak dimana otak mulai berkembang. Semua ego state berkembang untuk memuaskan beberapa kebutuhan (Arif, 2011). Awal munculnya ego state diawali dengan penanaman nilai (imprint) yang diberikan oleh orang tua kepada anak serta penguatan berupa penghargaan secara verbal sehingga ego state semakin berkembang dan menjadi ego state yang matang (Watkins & Watkins, 1997; Emmerson 2007). Setiap ego state memiliki potensi untuk konflik dan melakukan sabotase diri. Fenomena ini dapat kita lihat pada seseorang yang mengalami kejenuhan belajar (burnout). Ada bagian diri yang berkata “saya ingin berprestasi dan menjadi siswa yang sukses”. Tetapi bagian diri yang lain merasakan bahwa “saya malas belajar. Belajar tidak ada gunanya bagi saya”. Disini terjadi konflik ego state dimana ego state yang ingin berprestasi dan malas belajar. Hal ini dapat terjadi karena pengalaman sejak kecil atau penanaman nilai (imprint) yang kurang tepat yang dilakukan oleh orang tua saat kecil (Hartman & Zimberoff, 2003).

Kondisi Alami Ego State
Dalam melakukan proses konseling dengan menggunakan teknik konseling ego state diperlukan pemahaman mengenai kondisi alami sehingga memudahkan kita dalam melakukan intervensi. Emmerson (2010) menjelaskan ada empat kondisi ego state dalam diri kita :
1.   Normal ego state yaitu ego state yang berperan positif. Tujuan inti dari konseling ego state adalah untuk membantu semua state berfungsi menjadi normal kembali.
2.   Vaded ego state yaitu ego state yang bersipat menganggu sehingga membuat orang tersebut sering melakukan tindakan yang tidak ingin dilakukan. Vaded ego state muncul karena trauma dan penolakan di masa lalu dan tidak terselesaikan. Bila vaded ego state ini menjadi executive akan membuat perasaan orang tersebut menjadi buruk bahkan menjadi di luar kendali dan tidak dapat melakukan sesuatu yang diinginkannya.
3.   Retro ego state yaitu ego state yang muncul dan berkembang di masa lalu, ego state ini tercipta sejak kita masih kecil dan dulu state ini berguna atau digunakan tetapi sekarang sudah tidak berguna lagi. Tetapi kadang suka muncul dan menganggu atau menguntukan seseorang.
4.   Conflicted ego state yaitu beberapa ego state yang saling berkonflik dan kadang menjadi masalah bagi orang tersebut. Sebenarnya, conflicted ego state mempunyai maksud positif tetapi kadang mereka bertengkar atau berbeda pendapat secara internal. Contoh : “saya ingin lepas dari rasa takut naik motor setelah kecelakaan tapi bila naik, saya khawatir terjadi kecelakaan lagi”

Tujuan dari Konseling Ego State
            Tujuan inti dari konseling ego state adalah membuat ego state yang vaded, retro atau konflik menjadi ego state normal sehingga individu terbebas dari sabotase diri dan mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya (Watkins & Watkins, 1997; Barabasz & Watkins, 2008). Secara garis besar, Emmerson (2003) merumuskan tujuan ego state therapy meliputi :
1.   Mengalokasikan dimana adanya kesakitan, trauma, kemarahan atau frustrasi dalam ego state dan memfasilitasi ekspresi, melepaskan emosi negatif, memberikan rasa nyaman serta memberdayakan diri
2.   Memfasilitasi fungsi komunikasi di antara ego state
3.   Menolong klien mengenal ego state mereka sehingga klien dapat memetik kentungan yang lebih
4.   Mengatasi konflik diri atau konflik ego state
Bagi korban yang mengalami kejenuhan belajar (burnout), konseling dengan menggunakan ego state bertujuan untuk menemukan ego state yang merasa jenuh (vaded) kemudian memfasilitasi proses pelepasan emosi negatif dan ekspresi setelah itu mencari ego state lain yang dapat membantu dan melindungi ego state yang jenuh (Emmerson 2006).

Penanganan Konseli yang Mengalami Kejenuhan Belajar (Burnout) Melalui Konseling Ego State.
Konseling ego state merupakan teknik konseling singkat yang berdasar pada premis kepribadian yang terdiri dari bagian-bagian (parts) terpisah dan ini disebut ego state (Emmerson, 2011). Ego state seringkali disebut bagian kecil dari kepribadian seseorang. Tujuan inti dari konseling ego state adalah membuat ego state yang vaded, retro atau konflik menjadi ego state normal sehingga individu terbebas dari sabotase diri dan mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya (Watkins & Watkins, 1997; Barabasz & Watkins, 2008).
Konseli yang mengalami kejenuhan belajar terlihat letih secara emosi dan merasa energi yang dimilikinya habis terkuras. Hal ini disebabkan karena ada ego state yang merasa jenuh dan bosan dalam belajar sehingga ketika ego state ini menjadi ego state yang nampak (executive), membuat konseli letih emosi. Emmerson (2006) menjelaskan ketika vaded ego state menjadi ego state yang nampak, maka individu tersebut cenderung akan melakukan sabotase terhadap dirinya. Dalam kasus kejenuhan belajar (burnout), ego state yang jenuh belajar melakukan sabotase terhadap diri sehingga membuat konseli menjadi malas dan tidak ada semangat belajar. Jika kondisi ini dibiarkan begitu saja, maka konseli akan mengalami frustrasi dan depresi (Cherniss, 1980). Namun, berbeda jika ego state yang nampak adalah ego state yang normal. Misalkan pada kasus siswa yang berprestasi, ketika siswa tersebut mendapatkan prestasi dan penghargaan dari lingkungan, maka ego state berprestasi akan terus muncul dan mendukung agar siswa tersebut termotivasi. Dengan demikian, siswa tersebut akan siap dalam menghadapi ujian dan tantangan dalam belajarnya.
Kejenuhan belajar (burnout) melakukan pemblokiran terhadap ego state yang normal sehingga konseli mengalami merasa letih secara emosi, meningkatnya sikap sinis terhadap belajar dan menurunnya keyakinan dalam belajar (Maslach & Jackson, 1997). Konselor perlu untuk menemukan ego state yang membuat jenuh dan melakukan komunikasi dengan ego state lain yang lebih berdaya dan dapat membantu ego state yang merasa jenuh belajar (Emmerson, 2006). Untuk itu dalam menangani konseli yang mengalami kejenuhan belajar melalui konseling ego state diperlukan langkah-langkah sebagai berikut :
1.      Minta konseli untuk fokus pada perasaannya ketika mengalami gejala kejenuhan belajar
2.      Perkuat perasaan negatif sampai konseli merasakan efeknya pada tubuhnya. Setelah itu tanyakan dibagian kepada konseli dibagian tubuh mana konseli merasakan kejenuhan belajar
3.      Beri nama untuk ego state yang mengalami kejenuhan belajar
4.      Bicara langsung dengan ego state yang mengalami kejenuhan belajar untuk melihat cara lain yang dapat dilakukan ketika mengalami kejenuhan belajar sebelumnya
5.      Konselor memanggil ego state dimasa lalu yang dapat membantu ego state yang mengalami kejenuhan belajar. Lakukan langkah yang sama seperti yang di atas dan beri nama ego state tersebut.
6.      Konselor berbicara dengan ego state yang lebih berdaya agar mau membantu ego state yang mengalami kejenuhan belajar.
7.      Konselor memfasilitasi negosiasi antara ego state yang mengalami kejenuhan belajar berbicara dengan ego state yang lebih berdaya.
8.      Pastikan semua ego state menyetujui negosiasi
9.      Ingatkan setiap ego state dengan kesepakatan yang telah dibuat dan ucapkan terima kasih kepada setiap ego state karena mau bekerjasama. Konselor dapat memfasilitasi konseli dengan mengganti nama ego state yang mengalami kejenuhan belajar diganti namanya dengan ego state yang lebih berdaya.
10.   Bimbing konseli untuk membayangkan diri sedang belajar di sekolah dan tanyakan kepada konseli bagaimana perasaannya.
11.   Pastikan konseli tidak merasakan lagi gejala kejenuhan belajar. Jika konseli masih merasa masih ada ego state yang mengalami kejenuhan belajar, lakukan langkah-langkah yang sama dari langkah nomor 5 sampai 10
12.   Jika konseli sudah tidak merasakan kejenuhan belajar lagi, akhiri sesi konseling dengan memotivasi konseli agar lebih baik.


Contoh Sesi Konseling Ego State dalam Menangani Konseli yang Mengalami Kejenuhan Belajar (Burnout)
            Skrip dibawah ini merupakan sesi konseling dengan menggunakan ego state dalam menangani konseli yang mengalami kejenuhan belajar. Nama konseli Andri, ia menunjukkan gejala kejenuhan belajar yang ditandai dengan tidak ada semangat belajar, merasa bosan belajar bahkan seringkali bolos sekolah. Berikut cuplikan rangkuman sesi konseling ego state.

Konselor          : Andri, bapak ingin andri bayangkan saat dimana andri merasa bosan belajar...merasa jenuh dan sangat malas sekali untuk belajar. Andri boleh sambil memejamkan mata. Andri bisa membayangkan sedang berada di dalam kelas dan apa yang terjadi pada andri
Konseli            : Saya sedang berada di kelas dan begitu sangat malas sekali belajar. Saya merasa bosan belajar. Ingin keluar dari kelas dan hilang karena begitu jenuh, pak
Konselor          : saat kamu merasa jenuh, dibagian tubuh mana kamu merasakan perasaan jenuh itu ?
Konseli            : Kepala saya terasa berat. Dan tubuh saya terasa letih dan malas untuk melakukan sesuatu
Konselor          : Coba sekarang andri fokuskan pada perasaan yang jenuh tersebut dan pada bagian kepala andri
Konseli            : Terlalu berat, pak. Saya jadi malas dan capek
Konselor          : Jika dikasih nama bagian diri dari andri yang merasa jenuh ini dikasih nama apa ?
Konseli            : Boring
Konselor          : Oke, terima kasih ’Boring’ telah mau berbicara dengan saya. ’Boring’ adalah bagian diri dari Andri. Boring, apakah pernah mengalami situasi dimana Boring menikmati belajar ?
Konseli            : Tidak pernah
Konselor          : Bagaimana ketika sedang berada di rumah ?
Konseli            : Sama saja. Malah semakin malas ngapa-ngapain
Konselor          : Tentunya susah sekali untuk Boring keluar dari rasa malas belajar. Tapi, Boring ingin kan agar Andri sukses dan berhasil dalam belajar sehingga Andri bahagia ?
Konseli            : Ya, tentu. Saya ingin Andri bahagia dan sukses dalam belajarnya
Konselor          : Jika demikian, Boring mau mencoba untuk membantu Andri agar bisa lebih baik lagi dalam belajar dan dia bisa semangat untuk belajar
Konseli            : Ya, tentu saya mau
Konselor          : Saya sangat menghargai sekali bantuan ’Boring’. Saya tahu tentunya begitu berat bagi Boring untuk keluar dari masalah ini. Saya ucapkan terima kasih mau berbicara dengan saya. Sekarang saya akan berbicara dengan bagian diri yang lain dari Andri. Saya ingin kamu ingat lagi saat dimana kamu saat dimana kamu merasa begitu bergairah dan semangat dalam hidup. Mungkin itu dulu pernah kamu alami dan saat ini bawa kembali pengalaman dan perasaan masa lalu Andri. Coba ceritakan apa yang andri alami ?
Konseli            : Saya menjadi juara lomba lari saat SD
Konselor          : Kelas berapa itu dan terus apa yang terjadi ?
Konseli            : Saat kelas 4 SD. Saya mengikuti lomba lari antar kelas dan saya menjadi juara lari saat itu
Konselor          : Apa yang kamu rasakan saat itu ?
Konseli            : Senang dan bahagia
Konselor          : Pada bagian tubuh mana kamu merasakan perasaan Senang dan bahagia ini ? Apakah di dadat, diperut atau dimana ?
Konseli            : di dada
Konselor          : Bagus sekarang kamu fokus pada perasaan senang dan bahagia di bagian dada. Jika seandainya dikasih nama, diberikan nama apa bagian diri kamu yang senang dan bahagia ini ?
Konseli            : Semangat
Konselor          : Baik, sekarang saya ingin berbicara dengan si ’Semangat’. Katakan ’Ya, saya disini’ jika ’Semangat’ mendengar suara saya
Konseli            : Ya, saya ada disini
Konselor          :’Semangat’ saya ucapkan terima kasih karena telah mau berbicara dengan saya. ’Semangat’, anda adalah bagian diri dari Andri dan saat ini ada bagian diri dari Andri yang bernama ’Boring’, dia merasa malas dan jenuh dalam belajar. Maukah ’Semangat’ membantu ’Boring’ agar termotivasi lagi dalam belajar
Konseli            : Saya sih mau aja membantu ’Boring’ agar punya motivasi dalam belajar. Karena itu semua juga untuk kebaikan masa depan Andri juga
Konselor          : Oke, ’Semangat’ saya ucapkan terima kasih karena mau membantu ’Boring’. Sekarang saya ingin berbicara dengan ’Boring’, bisa mendengar suara saya.
Konseli            : Ya, saya bisa mendengar
Konselor          : ’Boring’ tadi dengar sendiri kan bahwasanya ’Semangat’ mau membantu ’Boring’ untuk keluar dari masalah yang sedang ’Boring’ hadapi. Bagaimana ’Boring’ mau berbagi dengan ’Semangat’ tentang perasaan yang mengganggu ’Boring’ ?
Konseli            : Ya, tadi saya mendengar. Saya berharap bisa membantu banyak
Konselor          : Oke, saya ingin berbicara dengan ’Semangat”. Coba anda katakan kepada ’Boring’ bahwa saya akan selalu membantumu dan akan selalu ada untukmu dalam menghadapi situasi terberat apapun dalam hidup. Coba katakan
Konseli            : (Konseli menjadi ’Semangat’ dan mengatakan kata-kata yang dipandu oleh Konselor)
Konselor          : Oke, sekarang saya ingin berbicara dengan ’Boring’, bagaimana perasaannya sekarang ?
Konselor          : Saya merasa lebih baik dan semangat untuk belajar
Konselor          : Ya, itu bagus karena ’Boring” anda adalah bagian diri dari Andri dan pasti ingin membuat Andri bahagia dan tentunya dengan membantu Andri agar senantiasa semangat belajar bisa membuat Andri bahagia
Konseli            : Ya, saya mencoba untuk mulai bangkit dan semangat lagi dalam belajar
Konselor          : ’Boring’ apakah anda masih ingin disebut dengan sebutan nama itu atau ingin diubah menjadi nama yang lebih positif ?
Konseli            : saya ingin diubah aja
Konselor          : Kira-kira nama apa yang ingin anda gunakan untuk mengganti nama ’Boring’
Konseli            : ”Motivator’. Kayanya itu nama yang lebih baik
Konselor          : Baiklah mulai sekarang ’Boring’ berubah nama menjadi ’Motivator’ dan akan membantu Andri agar terus semangat belajar dalam mencapai impiannya
Konseli            : Ya
Konselor          : Baik, saya ucapkan terima kasih kepada ’Motivator’ dan ’Semangat’ kalian berdua adalah bagian dari diri Andri yang sangat penting dan akan bersama-sama membantu Andri agar bahagia. Sekarang, saya persilahkan ’Motivator’ dan ’Semangat’ untuk kembali lagi ke dalam diri Andri. Sekarang saya ingin berbicara Andri, bisa mendengar suara saya
Konseli            : Ya, saya bisa mendengar
Konselor          : Andri sekarang saya ingin kamu bayangkan sedang berada di sekolah dan berada di kelas. Apa yang kamu rasakan ?
Konseli            : Saya merasa semangat belajar dengan teman-teman. Semakin yakin bisa mencapai impian saya
Konselor          : Ya, bagus itu artinya Andri berani untuk mengambil keputusan agar lebih dekat dengan impian Andri dan bapak penasaran apa yang akan terjadi pada diri Andri ketika bisa mencapai impian-impian Andri.Sekarang Andri boleh membuka mata
Konseli            : (Konseli membuka mata) wah, pak saya ucapkan terima kasih. Sekarang saya merasa semangat lagi dalam belajar.
           
Contoh ringkasan sesi konseling ego state di atas memberikan gambaran bagaimana cara menangani konseli yang mengalami kejenuhan belajar (burnout). Langkah-langkah di atas merupakan penanganan konseling ego state yang spesifik menangani kasus kejenuhan belajar. Akan tetapi, langkah-langkah tersebut dapat digunakan pada kasus yang berbeda.


C.     KESIMPULAN
Kejenuhan belajar harus segera ditangani karena jika tidak tertangani maka siswa yang mengalami kejenuhan belajar akan menjadi depresi. Model konseling hipotetik ego state dalam menunrunkan gejala kejenuhan belajar siswa berfokus pada penurunan gejala kejenuhan belajar yang dirasakan dengan melakukan analisis menggunakan regresi untuk mengetahui pertama kalinya emosi negatif itu muncul setelah itu melakukan pelepasan dan mencari ego state lain yang lebih matang untuk mendamaikan bagian diri yang konflik. Konseling ego state dapat menjadi metode dan alat dalam memberikan bantuan kepada konseli yang mengalami kejenuhan belajar.



DAFTAR PUSTAKA

Agustin, Mubiar. (2009). Model Konseling Kognitif-Perilaku Untuk Menangani Burnout pada Mahasiswa (Disertasi). Bandung : PPS UPI

Arif, Antonius. (2011). Ego State Therapy. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

Barabasz, Arreed, Marianne Barabasz & Jhon G. Watkins. (2011). Single-Session Manualized Ego State Therapy For Combat Stress Injury, Post Traumatic Stress Disorder, Acuted Stress Disorder, Part 1 : The Theory. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, 59, 379-391.

Cherniss. (1980). Staff Burnout Job Stress in the Human Services. London : Sage Publications

Emmerson, Gordon & Debbi Holopainen. (2002). Ego State Therapy and The Treatment of Depression. The Australian Journal Clinical Hypnotherapy & Hypnosis, 23, 89-100

Emmerson, Gordon. (2006). Advance Skills and Interventions in Therapeutic Counseling. Carmethen, United Kingdom : Crown House

Emmerson, Gordon. (2010). Ego State Therapy. Carmethen, United Kingdom : Crown House

Flanagan, Jhon-Sommers & Rika-Sommers Flanagan. (2004). Counselling and Psychotherapy Theory In Context and Practice. New Jersey : Jhon Wiley and Son, Inc.

Forgash, Carol & Jim Knipe. (2008). Integrating EMDR and Ego State Therapy for Client with Trauma Disorder. In Carol L. Forgash and Margaret Copeley,  Healing Trauma with EMDR and Ego State Therpay. (pp. 91-120). New York, NY : Springer Publishing.

Hartman, David & Diane Zimberoff. (2003). Ego State In Heart-Centered Therapies. Journal of Heart-Centered Therapies, Vol. 6, No. 1, pp. 47-92

Hawkins, Peter J. (2000). Hypnosis in Counselling and Psychotherapy. In Stephen Palmer, Introduction to Counselling and Psychotherapy : Essential Guide. London : Sage Publication Ltd

Ilfiandra. (2008). Fenomena Burnout Guru SD di Kota Bandung dan Faktor-Faktor yang Melatarbelakanginya. Bandung : Jurnal Psikopaedagogia Volume 2 Nomor 3, Mei 2001/2002

Jacobs, et al. (2003). Student Burnout as a Function Personality, Social Support, and Work Load. Jorunal of Collage Development. [Online]. Tersedia : www.findarticle.com/p/article/mi. [14 November 2009]

Lightsey, R. O. Jr & C.D. Hulsey. (2002). Impulsivity, Coping Stress, Burnout and Problem Gambling Among University Students. Journal of Couseling Psychology. Vol. 49. No.2. PP. 202-211.

Lynn, Steve Jay & Judith W. Rhue. (1991). Theory of Hypnosis : Current Models and Perspective. New York : The Guilford Press

Neukrug, Ed. (2012). The World of Counselor : An Introduction to The Counseling Profession. Belmont, CA : Brooks/Cole

Maslach, Christina et al. (1997). Maslach Burnout Inventory. California : Consulting Psychology Press

Maslach, C & Leiter, P.M. (1993). The Truth About Burnout. How to Organizations Cause Personal Stress and What to Do About it. San Francisco : Jorsey-Bass Publishers.

Noushad, P.P. (2008). From Teacher Burnout to Student Burnout. [Online]. Tersedia : http//www.eric.go.id/from-teacher-burnout-to student-burnout.pdf. [5 Desember 2009]

Philips, Maggie. (2001). Healing The Divided Self. In Raymond J. Corsini, Handbook of Innovative Therapy. (pp. 279-292). New York, NY : Jhon Wiley & Son, Inc.

Philips, Maggie. (2008). Combinging Hypnosis with EMDR and Ego State Therapy for Ego Strengthening, In Carol L. Forgash and Margaret Copeley,  Healing Trauma with EMDR and Ego State Therpay. (pp. 91-120). New York, NY : Springer Publishing

Schaufeli, W. et al. (2002). Burnout and Engagement in University Student. Journal of Cross Cultural Psychology. Vol. 33 No. 55. PP. 464-581. Western Washington University

 

Silvar, Branko. (2001). The syndrome of burnout, self-image, and anxiety with grammar school students. Journal of Psychology. Vol. 10. No. 2. PP. 21-32. Board of Education of the Republic of Slovenia


Watkins, Jhon G. & Watkins, Helen H. (1997). Ego State : Theory and Therapy. New York, NY : Norton & Company

Watkins, Jhon G. & Barabasz, Arreed. (2005). Hypnotherapeutic Techniques 2E. New York, NY : Routledge

Watkins, Jhon G. & Barabasz, Arreed. (2008). Advanced Hypnotherapy : Hypnodynamic Technique. New York, NY : Routledge

Watkins, Helen Huth. (1993). Ego State Therapy : Overview. American Journal of Clinical Hypnosis. Vol. 35, No. 4, pp 232–240.


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Free Samples By Mail