Konseling Traumatik Menggunakan Ego
State Therapy
(Traumatic Counseling Using Ego State
Therapy)
Oleh
Gian Sugiana Sugara
Alumni S1 Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan
Universitas Pendidikan Indonesia
Abstract.
Traumatic
experience make people not happy and fears in life. Because of that needs
traumatic counseling to remove and healing trauma symptoms. Ego state therapy is a powerful and brief therapy based on
the premise that personality is composed of separate parts, rather than being a
homogeneous whole. Ego state therapy could effectively for handling
trauma and fears. Based on study, trauma memories are encoded in the
subconscious mind. Traumatic counseling using ego state therapy technique
purpose for remove trauma symptom. Because of trauma memories encoded in the
subconscious mind, then single-session ego state therapy would effectively
using hypnosis condition in therapy. Process of ego state therapy using
hypnosis consist of accessing vaded ego state, doing regression for knowing the
root cause of trigger trauma. Then, doing process of expression, removal and
reliefe of vaded ego state which using mature and nurturing ego state.
Key
Word : Traumatic, Counseling, Ego state therapy
Abstrak.
Pengalaman
traumatis membuat seseorang menjadi tidak bahagia dan sering diliputi rasa
takut yang berlebihan. Untuk itu, diperlukan layanan konseling traumatic untuk
menghilangkan gejala-gejala trauma yang dialami oleh konseli. Ego state
therapy merupakan teknik terapi singkat yang berdasar pada premis
kepribadian yang terdiri dari bagian-bagian (parts) terpisah. Ego
state therapy dapat secara efektif menangani kasus trauma dan rasa takut
yang berlebihan Berdasarkan hasil studi menjelaskan memori trauma tersimpan
didalam memori pikiran bawah sadar. Untuk itu, konseling traumatik dengan
menggunakan teknik ego state therapy bertujuan menghilangkan
gejala-gejala trauma. Karena memori trauma tersimpan dalam pikiran bawah sadar,
maka satu sesi ego state therapy akan lebih efektif dengan menggunakan
kondisi hipnosis dalam proses terapinya. Proses ego state therapy dengan
menggunakan kondisi hipnosis terdiri dari mengakses ego state yang terluka,
melakukan regresi untuk mengetahui akar masalah pemicu trauma. Setelah itu,
melakukan proses ekpresi, pelepasan dan penenangan ego state yang terluka
dengan mencari ego state yang lebih dewasa dan mau mengasuh.
Kata
Kunci : Trauma, Konseling, Ego state therapy
A. Pendahuluan
Pengalaman traumatis
merupakan pengalaman menyakitkan yang dapat membuat seseorang tidak bahagia
dalam hidupnya. Orang yang mengalami trauma ceerung melakukan
penghindaran, cemas yang tinggi, depresi, selalu teringat kejadian yang
menyakitkan, rasa waspada yang berlebihan dan mati rasa emosi (Litz, 1992).
Pengalaman traumatis terjadi ketika seseorang mengalami atau menyaksikan suatu
ancaman yang mengancam dirinya dan meresponnya dengan rasa takut dan rasa tidak
berdaya (Forgash & Knipe, 2008; Carll, 2007). Peristiwa atau kejadian yang
menekan diluar pengalaman manusia pada umunya seperti perkosaan, bencana alam, kecelakaan,
kekerasan seksual, perang atau penyiksaan (Barabaz et al, 2011; Carll, 2007).
Pengalaman traumatis yang dialaminya seolah-olah menjadi katalisator mengingat
kembali pengalaman yang menyakitkan yang dialaminya.
Efek lain yang
dirasakan ketika mengalami trauma adalah dengan tidak mampunya seseorang dalam
mengontrol emosi. Penelitian menunjukkan ketika seseorang mengalami trauma, ada
bagian dari otak yang mengatur emosi menjadi semakin aktif dan tidak terkendali
(Hull, 2002; Van Der Kolk, 2007; Barabaz et al, 2011). Untuk itu, orang yang
mengalami pengalaman traumatis harus segera mendapatkan pemberian bantuan
secara psikologis untuk menghilangkan gangguan-gangguan yang dirasakan. Carll
(2007) menambahkan peristiwa trauma dapat menyebabkan seseorang mengalami
gangguan stress pasca trauma (Post Traumatic Stress Disorder / PTSD)
meliputi perasaan takut yang berlebihan, tidak berdaya dan cemas. Gejala utama
bagi orang yang mengalami PTSD adalah seolah-olah orang tersebut mengalami dan
merasakan kembali pengalaman yang membuat trauma (seperti mimpi buruk, pikiran
yang terus menganggu, dan selalu teringat kejadian trauma); melakukan
penghindaran terhadap semua hal yang mengingatkannya terhadap kejadian
(mengindari pikiran, orang, aktivitas dan segala hal yang berkaitan dengan
kejadian trauma); sulit untuk konsentrasi, sulit tidur dan amarah yang
meledak-ledak (Herman, 1992; Forgash & Knipe, 2008; Carll, 2007).
Trauma tidak hanya terjadi
dalam setting masyarakat, karena saat ini trauma juga dapat terjadi dalam
setting pendidikan khususnya sekolah. Fakta yang menarik adalah rata-rata
trauma dialami oleh siswa yang sedang belajar di sekolah. Seperti yang dilansir
www.metrotvnews.com
(Sabtu, 21 April 2012) tentang seorang siswa SD di Bulukumba yang trauma dan
tidak mau ke sekolah karena diinjak oleh guru. Berita lain dimuat oleh www.surabaya.detik.com
(Rabu, 4 April 2012) yang memuat tentang siswa SD di Mojokerto yang tidak
berani sekolah karena trauma dipukul guru agama. Fakta yang menarik ditemukan
bahwa kebanyakan korban trauma adalah siswa dan yang menjadi pelakunya adalah
guru sebagai tenaga pendidik. Okawa & Hauss (2007) menjelaskan bahwa
kekerasan (abuse) yang dialami akan menyebabkan trauma yang ditandai
dengan kecemasan yang tinggi, menghindari situasi sosial, emosi yang labil dan
depresi.
Untuk itu, konseli yang
mengalami trauma perlu mendapatkan proses bantuan berupa konseling traumatik
agar hidupnya bahagia dan terbebas dari ketakutan dan kecemasan yang
menghantuinya. Makalah ini menyajikan sebuah pendekatan dan teknik terapi
singkat ego state therapy yang secara efektif dapat menyembuhkan orang
yang mengalami trauma. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ego state therapy
secara efektif dapat digunakan dalam membantu masalah seperti post traumatic
stress disorder (PTSD), depresi, multiple personality disorder,
adiksi, manajemen rasa marah, trauma, panic attack, obsessive
compulsive disorder dan kecemasan (Barabaz & Watkins, 2008; Watkin
& Watkins, 1997; Emmerson; 2007; Philips, 2008).
B. Pembahasan
Untuk memahami lebih
jauh bagaimana gambaran konseling traumatik dengan menggunakan ego state
therapy berikut ini akan dijelaskan mengenai definisi ego etate therapy,
dasar-dasar ego state therapy, kondisi alami ego state, tujuan
dari ego state therapy, teknik-teknik terapi dalam ego state dan
prosedur praktek konseling traumatik melalui ego state therapy.
Definisi
Ego state therapy
Ego state therapy
merupakan teknik terapi singkat yang berdasar pada premis kepribadian yang
terdiri dari bagian-bagian (parts) terpisah dan ini disebut ego state (Emmerson,
2003). Ego state seringkali disebut bagian kecil dari kepribadian
seseorang. J.G. Watkins & H.H Watkins (1997) mendefinisikan ego state
therapy sebagai sebuah terapi yang menggunakan pendekatan individu,
keluarga, dan terapi kelompok dalam mengakses dan berhubungan dengan ego
state yang bertujuan untuk melepaskan dan mengatasi konflik ego state yang
terjadi.
Setiap kali kita
berbicara “saya seperti ini orangnya” atau “ada bagian saya yang membuat saya
tidak tenang” maka itulah ego state. Sebuah ego state merupakan satu bagian
dari sekumpulan kelompok yang mempunyai keadaan atau kondisi emosi yang setara,
yang dibedakan berdasarkan tugas khusus, perasaan (mood), dan fungsi
mental, dimana kesadaran diasumsikan sebagai identitas dari orang tersebut (Hartman
& Zimberoff, 2003, Emmerson, 2003). Kumpulan dari ego state membentuk
kepribadian utuh dari seseorang dan jumlahnya tidak dapat dihitung akan tetapi
dalam satu minggu ego state seseorang yang muncul berjumlah sekitar 5
hingga 15 ego state (Emmerson, 2003). Ego state mulai berkembang
ketika masa kanak-kanak dimana otak mulai berkembang. Semua ego state berkembang
untuk memuaskan beberapa kebutuhan (Arif, 2011). Awal munculnya ego state diawali
dengan penanaman nilai (imprint) yang diberikan oleh orang tua kepada
anak serta penguatan berupa penghargaan secara verbal sehingga ego state semakin
berkembang dan menjadi ego state yang matang (Watkins & Watkins,
1997; Emmerson 2007).
Setiap ego state memiliki
potensi untuk konflik dan melakukan sabotase diri. Fenomena ini dapat kita
lihat pada seseorang yang mengalami trauma. Misalkan korban trauma akibat
kekerasan seksual. Ada bagian diri yang berkata “saya ingin terbebas dari rasa
bersalah dan menjalani hidup lebih baik”. Tetapi bagian diri yang lain
merasakan bahwa “saya sudah tidak suci lagi. Saya berdosa dan jijik”. Disini
terjadi konflik ego state dimana ego state yang merasa bersalah
tumbuh dan berkembang diakibatkan dari perasaan luka yang dalam karena trauma.
Van der Kolk (1994) menjelaskan bahwa ketika seseorang mengalami trauma, memori
yang berkaitan dengan peristiwa trauma akan menempel di dalam otak pada bagian
non verbal, tidak sadar dan sangat sulit untuk diakses. Ego state yang
tumbuh akibat pengalaman traumatis kadangkala melakukan manipulasi dengan cara
menekan memori menyakitkan tersebut agar tidak muncul kembali (Hartman &
Zimberoff, 2003).
Strategi konseling
dengan menggunakan ego state therapy adalah dengan cara menemukan ego
state yang terluka (vaded) akibat trauma kemudian mencari ego
state lain yang dapat menenangkan atau membantunya sehingga menjadi lebih
produktif dan saling melindungi (Watkins & Watkins, 1997; Emmerson, 2003;
Forgas & Knipe, 2008).
Dasar-Dasar
Ego state therapy
Kepribadian bukan
merupakan satu kesatuan meskipin kelihatannya sama akan tetapi kepribadian
terpisah, bermacam-macam dan memiliki tujuan yang berbeda. Istilah ego state
memang bukanlah yang pertama kali karena istilah ego pertama kali muncul
dan diperkenalkan oleh pakar psikoanalisis yaitu Sigmund Freud. Konsep
psikoanalisis menjelaskan bahwa dinamika kepribadian individu terdiri dari tiga
komponen yakni id (dorongan biologis), ego (dorongan sosial), super
ego (dorongan moral). Tetapi konsep ego state berbeda dengan ego dan
super ego yang dalam psikoanalisis. Orang yang pertama kali memperkenalkan
istilah ego state adalah Paul Federn, seorang psikoterapis yang belajar
psikoanalis langsung pada Sigmund Freud (Barabasz et all, 2011). Federn
berpendapat bahwa kepribadian seseorang terdiri dari bagian-bagian (parts)
dan disebut ego state. Ketika individu melakukan dan merasakannya, maka
ini disebut dengan ego identity (Arif, 2011).
Eloardo Weiss (Barabasz
et all, 2011) yang merupakan murid dari Federn mendalami konsep ego state dalam
kepribadian. Tetapi baik Federn maupun Weiss tidak menggunakan konsep ego
state dalam proses terapinya dan masih menggunakan psikoanalisis dalam
melakukan konseling dan terapi. Seorang psikolog berkebangsaan amerika yang
bernama Jhon G. Watkins yang belajar psikoanalisis dari Weiss mengembangkan
konsep ego state menjadi lebih mudah dipahami. Watkins menggunakan
konsep ego state dalam terapi dan melakukan eksperimen dengan menggunakan
kondisi hipnosis, berbicara langsung pada bagian kepribadian (subpersonality)
yang bermasalah dan berhasil membantu korban-korban trauma perang dunia
kedua. Pada tahun 1970, J.G. Watkins dan
istrinya H. H. Watkins menerbitkan istilah ego state therapy di beberapa
makalah, jurnal dan menulis buku Ego State : Theory and Therapy pada
tahun 1997.
Konsep ego state juga
digunakan dalam pendekatan Transactional Analysis Therapy akan tetapi
istilah ego state yang dipaparkan Eric Berne (1961) berbeda dengan ego
state yang dipaparkan oleh J. G Watkins dan H.H Watkins. Ego state dalam
transactional analysis merupakan konsep komunikasi interaksional bagian
diri yang terdiri dari tiga yaitu ego state anak, ego state dewasa
dan ego state orang tua. Sementara dalam konsep ego state therapy,
jumlah ego state tidak terhitung karena ego state merupakan
bagian dari kepribadian yang memiliki kondisi perasaan yang setara, logika,
keterampilan dan terus berkembang (Hartman & Zimberoff, 2003).
Dalam proses terapinya,
J.G. Watkins seringkali menggunakan kondisi hipnosis sehingga memungkinkan
untuk membagi ego state yang terluka dengan ego state yang
lainnya. Kondisi hipnosis sangat direkomendasikan dalam ego state therapy
(Barabasz & Watkins, 2008; Barabasz et all, 2011; Emmerson, 2003; Watkins
& Watkins, 1997).
Kondisi
Alami Ego state
Dalam melakukan proses
konseling dengan menggunakan teknik ego state therapy diperlukan
pemahaman mengenai kondisi alami sehingga memudahkan kita dalam melakukan
intervensi. Bahkan Helen H. Watkins (1993) mengingatkan untuk hati-hati dalam
melakukan persuasi dengan ego state dalam kondisi hipnosis karena
sugesti yang diberikan dapat membuat ego state baru yang bersipat merusak
dalam diri individu. Untuk itu, Emmerson (2003) menjelaskan ada beberapa
kondisi alami ego state yang harus dipahami oleh seorang konselor :
1. Ego
state tidak dapat dihilangkan atau disingkirkan, tetapi
dapat kita ganti tugasnya
2. Normalnya,
ego state dapat mengekspresikan berapa tua umur perasaan tersebut
3. Ego
state dapat memilih untuk bersembunyi atau menjadi tidak
aktif dan mereka dapat berubah, mereka biasanya memilih nama baru, misalkan
dari cemas menjadi percaya diri
4. Ego
state pastilah bagian dari orang tersebut
5. Ego
state mempunyai identitas, jadi ketika ego state menjadi
executive (muncul secara sadar), dia berbicara seperti orang pertama dan
membicarakan state yang lain sebagai sesuatu yang lain
6. Ego
state mempunyai perasaan dan mereka tidak suka dengan
komentar kasar terhadap mereka, baik secara langsung atau melalui state
yang lain. Bila itu terjadi, mereka menolak untuk berbicara dan bekerjasama.
7. Setiap
orang pasti mempunyai ego state walau jumlah ego state dan
bentuknya bisa berbeda antara orang yang satu dengan orang yang lain
Kondisi alami ego
state yang dipaparkan di atas merupakan bagian penting yang harus
diperhatikan oleh konselor dalam melakukan konseling ego state therapy. Arif
(2011) menjelaskan bahwa kondisi alami ego state ini adalah cara pandang
yang harus dimiliki seorang konselor yang menggunakan ego state therapy
dalam membantu menangani permasalahan konseli. Pada akhirnya, dengan memahami
kondisi alami ego state akan membuat sesi konseling menjadi efektif dan
efisien.
Selain memahami kondisi
alami ego state yang dapat diaplikasi dalam konseling, konselor juga
harus memahami empat kondisi ego state berdasarkan pada fungsinya.
Emmerson (2003) menjelaskan ada empat kondisi ego state dalam diri kita
:
1. Normal
ego state yaitu ego state yang berperan positif.
Tujuan inti dari ego state therapy adalah untuk membantu semua state
berfungsi menjadi normal kembali.
2. Vaded
ego state yaitu ego state yang bersipat menganggu
sehingga membuat orang tersebut sering melakukan tindakan yang tidak ingin
dilakukan. Vaded ego state muncul karena trauma dan penolakan di masa
lalu dan tidak terselesaikan. Bila vaded ego state ini menjadi executive
akan membuat perasaan orang tersebut menjadi buruk bahkan menjadi di luar
kendali dan tidak dapat melakukan sesuatu yang diinginkannya.
3. Retro
ego state yaitu ego state yang muncul dan berkembang
di masa lalu, ego state ini tercipta sejak kita masih kecil dan dulu
state ini berguna atau digunakan tetapi sekarang sudah tidak berguna lagi.
Tetapi kadang suka muncul dan menganggu atau menguntukan seseorang.
4. Conflicted
ego state yaitu beberapa ego state yang saling
berkonflik dan kadang menjadi masalah bagi orang tersebut. Sebenarnya, conflicted
ego state mempunyai maksud positif tetapi kadang mereka bertengkar atau
berbeda pendapat secara internal. Contoh : “saya ingin lepas dari rasa takur
naik motor setelah kecelakaan tapi bila naik, saya khawatir terjadi kecelakaan
lagi”
Tujuan
dari Ego State Therapy
Tujuan
inti dari ego state therapy adalah membuat ego state yang vaded,
retro atau konflik menjadi ego state normal sehingga individu terbebas
dari sabotase diri dan mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya (Watkins &
Watkins, 1997; Barabasz & Watkins, 2008). Secara garis besar, Emmerson
(2003) merumuskan tujuan ego state therapy meliputi :
1. Mengalikasikan
dimana adanya kesakitan, trauma, kemarahan atau frustrasi dalam ego state dan
memfasilitasi ekspresi, melepaskan emosi negatif, memberikan rasa nyaman serta
memberdayakan diri
2. Memfasilitasi
fungsi komunikasi di antara ego state
3. Menolong
klien mengenal ego state mereka sehingga klien dapat memetik kentungan
yang lebih
4. Mengatasi
konflik diri atau konflik ego state
Bagi korban yang
mengalami trauma, konseling dengan menggunakan ego state therapy
bertujuan untuk menemukan ego state yang terluka (vaded) kemudian
memfasilitasi proses pelepasan emosi negatif dan ekspresi setelah itu mencari ego
state lain yang dapat membantu dan melindungi ego state yang terluka
(Barabasz et all, 2011). Proses pelepasan trauma dalam ego state therapy
terjadi ketika ego state yang terluka tidak lagi menjadi ego state yang
excecutive. Orang yang mengalami trauma melewati rasa takutnya dan
secara cepat ego state menjadi normal dan saling memberikan penguatan
(Barabasz & Watkins, 2008).
Teknik-Teknik
Konseling dalam Ego State Therapy
Ego
state therapy menekankah pada analisis komunikasi terhadap fungsi dan
peranan ego state terhadap individu. Terdapat dua teknik yang sering
digunakan dalam ego state therapy (Emmerson, 2003; Arif, 2011; Watkins
& Watkins 1997) diantaranya adalah :
1. Ego
state therapy tanpa menggunakan kondisi hipnosis
Adapun teknik yang
seringkali digunakan dalam terapi ego state yang tidak memanfaatkan
kondisi hipnosis dalam proses terapinya adalah
a.
Empty Chair Technique
yaitu teknik terapi ego state dengan
menggunakan kursi sebagai media dalam memfasilitasi komunikasi antar ego state.
Teknik ini sangat cocok bagi individu yang kurang bisa melakukan imajinasi
karena dengan menggunakan kursi kosong seseorang akan terbantu dengan lebih
mudah untuk mengakses ego state atau perasaannya. Teknik ini merupakan
pengembangan dari gestalt therapy, yang membedakannya adalah selama sesi
konseling ego state therapy, kursi yang dibutuhkan sekitar 5 sampai 10
kursi. Tujuan dari kursi kosong ini adalah sebagai manifestasi dari ego
state dari individu agar dapat berkomunikasi dan mengubah vaded, retro
atau conflicted ego state menjadi normal ego state.
b.
Conversational Technique
yaitu teknik terapi ego state yang
dilakukan selayaknya percakapan biasa. Teknik ini sangat membantu dalam sebagai
persiapan melakukan resistence bridging yakni teknik untuk mencari akar
masalah. Teknik percakapan hampir sama dengan teknik kursi kosong, yang
membedakannya adalah disini tidak mencari akar masalah dalam konselingnya akan
tetapi fokus pada komunikasi antara ego state yang terluka (vaded)
dan mencari ego state pelindung (protector).
2. Ego
State Therapy dengan menggunakan kondisi hipnosis
Hipnosis adalah suatu
keadaan fokus, tenang, dan relaks sehingga dapat mencerna informasi atau
sugesti yang masuk ke dalam pikiran. Korban yang mengalami gangauan stress
pasca trauma (Post Traumatic Stress Disorder) dan gangguan stress akut (Acute
Stress Disorder) memiliki kemampuan masuk kondisi hipnosis yang sangat
tinggi dibanding dengan orang biasa (Yard, DuHamel, & Galynker, 2008). Pendapat
lain dikemukakan oleh Hilgard (Watkins, 1993) yang menjelaskan hipnosis
berkaitan dengan fokus yang tinggi dan proses pemisahan diri (disosiative).
Melalui hipnosis, konselor dapat secara efektif memanggil dan memisahkan ego
state yang terluka serta melakukan proses pelepasan emosi. Kondisi hipnosis
merupakan bagian terpenting dalam satu sesi ego state therapy (Emmerson,
2003; Barabasz et all, 2011).
Kondisi hipnosis
digunakan untuk mencari akar masalah (root cause) yang menjadi
permasalahan klien. Emmerson (2003) menjelaskan dalam kasus trauma, kondisi
hipnosis digunakan untuk mencari ego state yang terluka (vaded)
kemudian melakukan pelepasan emosi melalui ekspresi terhadap ego state yang
negatif (maladaptive ego state) yaitu dengan cara melakukan regresi atau
kembali kepada memori masa lalu yang menjadi pemicu trauma kemudian melakukan
rekonstruksi yang positif terhadap peristiwa itu (Abramowitz & Lichtenberg,
2010; Watkins & Watkins, 1997).
Barabasz et all
(2011) memaparkan langkah-langkah satu sesi ego state therapy dengan
menggunakan hipnosis yang bisa dilakukan oleh konselor diantaranya : (1)
melakukan induksi secara tidak langsung kepada konseli untuk memasuki kondisi
hipnosis. Setelah itu konseli dibantu untuk mengingat kembali memori masa lalu
yang menjadi pemicu trauma dengan menggunakan teknik regresi. Emmerson (2003)
menjelaskan untuk menghindari konseli yang takut dihipnosis, konselor dapat
menggunakan teknik induksi secara tidak langsung (indirect hypnosis) dan
teknik resistence bridging sebagai teknik regresi permisif dimana
konseli tidak tahu sedang dihipnosis. (2) selanjutnya konselor melakukan proses
ekspresi terhadap ego state yang negatif (maladaptive ego state).
Ketika proses ekspresi dilakukan konselor membantu konseli untuk melepaskan dan
meluapkan seluruh emosi yang tersimpan di dalam pikiran bawah sadar konseli.
(3) tahapan akhir adalah melakukan penanganan (reliefe) yakni proses
komunikasi antara ego state dimana ego state yang terluka dibantu
oleh ego state yang lebih dewasa (nurturance).
Prosedur
Konseling Traumatik melalui Ego State Therapy
Konseling merupakan
pemberian bantuan yang sangat tepat bagi korban yang mengalami trauma. Weaver et
all (2003) menjelaskan pemberian konseling merupakan dukungan utama bagi
korban yang mengalami stress pasca trauma (Post Traumatic Stress Disorder).
Konselor yang menggunakan terapi ego state membantu untuk menyembuhkan
masalah trauma yang dihadapi oleh konseli. Ketika masalah trauma terselesaikan,
gejala-gejala trauma seperti kecemasan, takut yang berlebihan mulai menghilang
karena sudah tidak lagi dalam pengendalian ego state yang negatif
(Barabasz et all, 2011).
Pengalaman traumatis
yang selalu teringat akan ditekan oleh pikiran dan tersimpan di dalam pikiran
bawah sadar. Oleh karena itu, ego state yang muncul akibat trauma akan
melakukan manipulasi perilaku dengan cara menghindari (avoidance) dari segala
hal yang berkaitan dengan kejadian yang menjadi pemicu trauma. Forgash &
Knife (2008) menjelaskan manipulasi ego state yang dilakukan untuk
menghindari trauma seperti sulit berkonsentrasi, marah yang meledak-ledak,
menghindari orang-orang dan segala hal yang mengingatkan kejadian trauma, kaku,
merasa terisolasi, distress dan kurang kepercayaan baik pada diri maupun orang
lain. Untuk itu, konseling traumatik dengan menggunakan ego state therapy
dapat digunakan sebagai intervensi pendekatan untuk menghilangkan gejala-gejala
trauma yang dirasakan oleh konseli.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sindrom trauma seperti gangguan stress pasca trauma (Post
Traumatic Stress Disorder) dan gangguan stress akut (Acute Stress
Disorder) secara efektif dapat dihilangkan dengan menggunakan ego state
therapy (Watkins & Watkins, 1997; Barabasz & Watkins, 2008; Abramowitz
& Lichtenberg, 2010; Arif, 2011). Teknik ego state therapy yang
secara efektif dapat membantu menangani trauma adalah dengan menggunakan kondisi
hipnosis (Emmerson, 2003). Melalui kondisi hipnosis, konselor dapat secara
cepat menemukan akar masalah dan ego state yang terluka serta melakukan
proses ekspresi dan pelepasan emosi. Adapun gambaran secara detail mengenai
manual satu sesi konseling traumatik dengan menggunakan ego state therapy
adalah sebagai berikut :
1.
Tahapan pertama yang harus dilakukan
oleh konselor adalah mengakses ego state (Accessing ego state)
dengan menggunakan teknik Resistence Deepening
Dalam kasus traumatik,
konselor mengeksplorasi untuk menemukan ego state yang terluka. Konselor
membimging konseli untuk memasuki kondisi hipnosis dengan teknik resistence
deepening yang tanpa disadari konseli sudah berada dalam kondisi hipnosis.
Arif (2011) menjelaskan bahwa teknik resistence deepening diciptakan
untuk orang yang cenderung menghindar atau takut dihipnosis. Emmerson (2003)
mencipatakan teknik ini dengan memanfaatkan trance atau kondisi hipnosis dengan
mata terbuka. Teknik resistence deepening menekankan pada unsur perasaan saat
melakukan pengambilan kondisi hipnosis.
Langkah awal yang dapat
konselor lakukan dalam melakukan teknik adalah dengan meminta konseli untuk
membayangkan situasi yang membuat dia trauma dan menanyakan perasaan yang muncul
ketika dalam situasi tersebut. Tahapan pertama ini bertujuan untuk mengakses ego
state yang terluka atau kondisi yang membuat konseli trauma. Pengalaman
traumatis biasanya membuat konseli mengalami ketakutan yang sangat kuat ketika
menghadai situasi yang menjadi pemicu trauma dan saat itulah ego state yang
terluka muncul (executive). Misalnya pada kasus trauma naik motor. Dalam
mengakses ego state yang terluka, konselor dapat meminta konseli untuk
membayangkan konseli duduk di atas motor dan tanyakan bagaimana perasaannya.
Selain itu, konselor
memberikana nama kepada ego state yang terluka tersebut. Konselor
menanyakan kepada konseli mengenai nama dari ego state ini. Tujuannya
adalah supaya konselor lebih mudah berkomunikasi dengan ego state yang
merupakan bagian dari konseli. Contohnya pada kasus di atas, konseli merasa
ketakutan ketika naik motor dan memberi namanya dengan “si takut”. Setelah itu
tanyakan pada ego state apa fungsi “si takut” untuk konseli. Hal ini
dilakukan agar konselor mengetahui fungsi ego state bagi konseli. Karena
pada dasarnya setiap ego state memliki niat dan fungsi yang baik bagi
dirinya (Emmerson, 2003).
Kemudian konselor
melakukan cek skala kedalaman dari 1 sampai 10. Angka 10 menandai bahwa emosi
sangat terasa dan 1 jika emosi tersebut tidak terasa. Tanyakanlah pada konseli
“Ada di angka berapa emosi yang saat ini anda rasakan ?”, bila angkanya rendah
misalkan 6, konselor meminta konseli untuk melipatgandakan perasaan itu sampai
sembilan atau sepuluh.
2.
Tahapan selanjutnya melakukan regresi
dengan menggunakan teknik Resistence Bridging
Langkah selanjutnya
adalah melakukan regresi yaitu membawa konseli ke dalam memori situasi atau
peristiwa pertama kali munculnya ego state yang terluka. Emmerson (2003)
menjelaskan bahwa teknik resistence bridge adalah sebuah teknik hipnosis
yang membawa konseli untuk berpindah secara langsung setelah selesai melakukan
teknik resistence deepening. Penggunaan teknik ini diintegrasikan secara
langsung setelah melakukan teknik resistence deepening.
Pada kasus di atas,
setelah konselor membimbing konseli merasakan intensitas emosi sampai angka 10,
setelah itu gunakan teknik resistence bridging dengan menanyakan konseli
sebagai berikut : (a) Menurut anda, perasaan (emosi) ini tua atau muda?; (b)
Pada sekitar umur berapa, perasaan ini muncul pertama kali?; (c) Silahkan
menjadir umur (sebutkan umur berapa yang muncul dari jawaban b); (d) Peristiwa
ini sepertinya terjadi di dalam atau diluar ruangan?; (e) sendiri atau bersama
orang lain?; (f) Ceritakan apa yang terjadi disana. Pertanyaan-pertanyaan
tersebut merupakan teknik untuk mengeksplorasi muncul pertama kalinya ego
state yang terluka.
3.
Tahapan selanjutnya adalah melakukan
proses ekspresi terhadap ego state yang negatif (introject) yang
memunculkan pengalaman traumatis
Setelah akar masalah
yang menjadi pengalaman traumatis bagi konseli diketahui, langkah selanjutnya
adalah melakukan proses ekspresi terhadap ego state negatif (introject).
Dalam tahapan ini, konseli harus mengekspresikan dan mengungkapkan permasalahan
atau emosi yang terpendam. Secara khusus ego state yang mengekpresikan
emosi tersebut harus ego state yang terluka. Misalkan Si Marah
mengekspresikan kemarahannya pada orang yang menabrak motor konseli sebagai
orang yang telah melukai hatinya tanpa ia bisa mengungkapkan dihadapannya
secara langsung. Tujuan dari proses ekspresi adalah untuk melepaskan semua
emosi yang terpendam dalam diri konseli dan seringkali menjadi masalah yang
memicu untuk munculnya gejala-gejala trauma (Barabasz et all, 2011).
4.
Tahapan selanjutnya adalah melakukan removal
atau pelepasan
Setelah proses
mengekspresikan perasaan selesai, dilakukan proses removal atau pelepasan rasa
kesal. Konselor harus membantu ego state yang terluka untuk melakukan
pelepasan dari ego state negatif yang masih melekat. Ada dua cara yang
dapat dilakukan oleh konselor : (a) bila ego state yang negatif (introject)
itu adalah lain atau sesuatu, buatlah menjadi sesuatu yang sangat kecil
ukurannya dan konselor membantu konseli untuk mengusirnya. Cara mengusinya
adalah dengan menanyakan langsung pada konseli. Konselor dapat membantu dengan
menanyakan “Apakah mau ditendang atau ditiup?” atau mau diambil pakai tangan
lalu dibuang?” (b) bila ego state yang negatif itu adalah orang tua,
dilakukan proses pemaafan dengan teknik forgiveness antara konseli dan
orang tuanya.
5.
Tahapan selanjutnya adalah melakukan
proses relief atau penenangan
Setelah melakukan
proses pelepasan ego state negatif, langkah selanjutnya adalah mekakukan
proses penenangan (relief) yaitu dengan memanggil ego state yang
lebih dewasa (mature) dan mau mengasuh (nurturing) ego state yang
terluka tadi. Bila ego state yang dwasa dan mau mengasuh tidak muncul
sama sekali, maka konselor dapat memanggil ego state introject yang
lebih dewasa dan mau mengasuh ego state yang terluka tersebut. Caranya
adalah konselor dapat meminta konseli untuk memanggil bagian dari konseli yang
lebih dewasa dan matang kemudian beri nama ego state tersebut. Misalkan
Si Tenang yang muncul pada konseli, langkah selanjutnya konselor membantu
konseli untuk melakukan proses penenangan dengan cara meminta ego state “si
tenang” untuk mau mengasuh dan menyayangi ego state “si takut”.
Prosesnya adalah dengan cara konseli mengungkapkan secara lisan pada ego
state “si takut” dan memfasilitasi komunikasi antara ego state yang
dewasa (mature) dan ego state yang terluka. Bila ego state “si
takut” sudah merasa tenang, langkah selanjutnya adalag mengubah nama ego
state yang terluka (si takut) menjadi nama ego state yang lebih
positif, misalkan ego state “berani”.
C. Kesimpulan
Konseling bagi konseli
yang mengalami pengalaman traumatis merupakan bantuan utama yang harus segera
diberikan. Hal ini dilakukan agar gejala-gejala trauma yang dirasakan
menghilang dan konseli dapat menjalani hidup dengan bahagia tanpa diikuti rasa
takut yang berlebihan. Ego state therapy merupakan teknik yang simple
dan luar biasa dapat secara efektif menangani kasus trauma. Konseling traumatik
menggunakan ego state therapy adalah model konseling yang menyembuhkan
pengalaman traumatis seseorang melalui proses ekspresi, pelepasan dan
penenangan ego state yang terluka. Hal ini dilakukan dengan cara mencari ego
state yang lebih dewasa (mature) dan mau mengasuh (nurturing)
ego state yang terluka. Untuk itu, konseling traumatik dengan
menggunakan teknik ego state therapy dapat menjadi solusi dalam
menangani kasus-kasus trauma.
DAFTAR PUSTAKA
Abramowitz,
E., & Litchtenberg, P. (2010). A New Hypnotic Technique For Treating Combat
Related Post Traumatic Stress Disorder : A Prospective Open Study. International
Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, 58, 316–328.
Arif,
Antonius. (2011). Ego State Therapy. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama
Barabasz,
Arreed, Marianne Barabasz & Jhon G. Watkins. (2011). Single-Session
Manualized Ego State Therapy For Combat Stress Injury, Post Traumatic Stress
Disorder, Acuted Stress Disorder, Part 1 : The Theory. International
Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, 59, 379-391.
Carll,
Elizabeth K. (2007). Trauma Psychology : Issues In Violence, Disaster,
Health, and Illness. United Kingdom : Greenwood Publishing Group, Inc.
Emmerson,
Gordon. (2003). Ego State Therapy. Carmethen, United Kingdom : Crown
House
Flanagan,
Jhon-Sommers & Rika-Sommers Flanagan. (2004). Counselling and
Psychotherapy Theory In Context and Practice. New Jersey : Jhon Wiley and
Son, Inc.
Forgash,
Carol & Jim Knipe. (2008). Integrating EMDR and Ego State Therapy for
Client with Trauma Disorder. In Carol L. Forgash and Margaret Copeley, Healing Trauma with EMDR and Ego State
Therpay. (pp. 91-120). New York, NY : Springer Publishing.
Hartman,
David & Diane Zimberoff. (2003). Ego State In Heart-Centered Therapies. Journal
of Heart-Centered Therapies, Vol. 6, No. 1, pp. 47-92
Hawkins,
Peter J. (2000). Hypnosis in Counselling and Psychotherapy. In Stephen Palmer, Introduction
to Counselling and Psychotherapy : Essential Guide. London : Sage
Publication Ltd
Herman,
J. L. (1992). Trauma and recovery: The aftermath of violence—From domestic
abuse to political terror. New York: Basic Books.
Hull,
A. M. (2002). Neuroimaging Findings In Post Traumatic Stress Disorder. British
Journal of Psychiatry, 181,102–110.
Litz,
B. T. (1992). Emotional Numbering In Combat Related Post Traumatic Stress Disorder:
A Critical Review and Reformation. Clinical Psychology Review,
12,417–432.
Lynn,
Steve Jay & Judith W. Rhue. (1991). Theory of Hypnosis : Current Models
and Perspective. New York : The Guilford Press
Neukrug,
Ed. (2012). The World of Counselor : An Introduction to The Counseling
Profession. Belmont, CA : Brooks/Cole
Okawa,
Judy B. & Ronda B Hauss. (2007). The Trauma of Politically Motivated
Torture. In Elizabeth K. Carll, Trauma Psychology : Issues In Violence,
Disaster, Health, and Illness. (pp. 33-60) United Kingdom : Greenwood
Publishing Group, Inc.
Philips,
Maggie. (2001). Healing The Divided Self. In Raymond J. Corsini, Handbook of
Innovative Therapy. (pp. 279-292). New York, NY : Jhon Wiley & Son,
Inc.
Philips,
Maggie. (2008). Combinging Hypnosis with EMDR and Ego State Therapy for Ego
Strengthening, In Carol L. Forgash and Margaret Copeley, Healing Trauma with EMDR and Ego State
Therpay. (pp. 91-120). New York, NY : Springer Publishing
Van
der Kolk, B. (1994). Psychobiology of Post Traumatic Stress Disorder. In J. Panksepp
(Ed.), Text Book of Biological Psychiatry (pp. 319–344). New York, NY : Wiley-Liss
Watkins,
Jhon G. & Watkins, Helen H. (1997). Ego State : Theory and Therapy.
New York, NY : Norton & Company
Watkins,
Jhon G. & Barabasz, Arreed. (2005). Hypnotherapeutic Techniques 2E.
New York, NY : Routledge
Watkins,
Jhon G. & Barabasz, Arreed. (2008). Advanced Hypnotherapy : Hypnodynamic
Technique. New York, NY : Routledge
Watkins,
Helen Huth. (1993). Ego State Therapy : Overview. American Journal of
Clinical Hypnosis. Vol. 35, No. 4, pp 232–240.
Weaver,
Andrew J. et all. (2003). Counseling Survivors of Traumatic Events :
A Handbook for Pastoral and Other Helping Professional. Nashville :
Abingdon Press
Yard,
S., DuHamel, K., & Galynker, I. (2008). Hypnotizability As A Potential Risk
Factor For Post Traumatic Stress : A Review of Quantitative Studies. International
Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, 56, 334–356
1 komentar:
terimakasih, berguna sekali buat pemahaman baru utk saya..
Posting Komentar